Thursday, April 19, 2007

Soal

ASSUNNAH ML ON-LINE
Tegak dan Ittiba' Di Atas Manhaj Salaf

| Halaman Utama | Berita | Artikel | Info | Galeri | Ragam | Search |

| Masalah Penting | Tauhid | Info Kitab | Masalah Hati | Annisaa |

Halaman Utama > Artikel > Annisaa > Batalkah Wudhu Seorang Wanita Yang Mengeluarkan Angin Dari Farajnya

Batalkah Wudhu Seorang Wanita Yang Mengeluarkan Angin Dari Kemaluannya (Farajnya)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah keluarnya angin dari kemaluan wanita menyebabkan batalnya wudhu atau tidak ?

Jawaban:
Angin yang keluar dari kemaluan wanita tidak membatalkan wudhu karena angin itu tidak keluar dari tempat najis sebagaimana keluarnya angin dari dubur.
[Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/197]


Apakah Angin Yang Keluar Dari Kemaluan Wanita Membatalkan Shalat


Karena banyaknya pertanyaan serupa dan beragamnya jawaban dari para ulama, maka kami menetapkan fatwa ini agar lebih banyak manfaatnya

Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'


Pertanyaan:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya : Seorang wanita jika sedang melakukan shalat, termasuk ruku' dan sujud, kemudian keluar angin dari kemaluannya khususnya pada waktu sujud, duduk diantara dua sujud, duduk tasyahud dan ruku, terkadang keluarnya angin ini terdengar oleh rekannya yang berada di sebelahnya, apakah hal serupa ini membatalkan shalat wanita itu ?
Dan terkadang angin yang keluar itu amat sedikit sekali sehingga tidak terdengar, apakah hal serupa ini membatalkan wudhu dan juga shalat ?

Jawaban:
Keluarnya angin dari kemaluan wanita tidak membatalkan wudhu dan juga tidak membatalkan shalat.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta, 5/159]

Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 16 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin.


Created at 24 Januari 2002 | Annisaa

Untuk pertanyaan, saran dan kritikan yang berkaitan dengan homepage ini, silakan hubungi kami
Tested under IE 5.x, Opera 5.x, Mozilla 0.9.x and Netscape 4.7x

ASSUNNAH ML ON-LINE
Tegak dan Ittiba' Di Atas Manhaj Salaf

| Halaman Utama | Berita | Artikel | Info | Galeri | Ragam | Search |

| Masalah Penting | Tauhid | Info Kitab | Masalah Hati | Annisaa |

Halaman Utama > Artikel > Annisaa > Keringanan Memakai Pakaian Haid Pada Saat Shalat

Keringanan Memakai Pakaian Haid Pada Saat Shalat

Amr bin Abdul Mun'im


Allah Tabaraka wa Ta'ala telah berfirman dalam Al-Qur'an.

"Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah. 'Haid itu adalah kotoran'. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri(1) dari wanita di waktu haid, dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci(2). Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri". [Al-Baqarah : 222]

Dari Mujahid, Aisyah Radhiyallahu 'anha, pernah menceritakan :

"Artinya : Tidak seorangpun di antara kami yang mempunyai baju lebih dari satu pakaian, yang juga dikenakan pada saat haid. Apabila pakaian itu terkena darah haid, maka dia menghilangkan kotoran itu dengan ludahnya kemudian menggosok-gosoknya dengan kuku". [Hadits Riwayat Bukhari]

Hadits di atas menjadi dalil dibolehkannya seorang wanita mengenakan baju haid pada saat mengerjakan shalat apabila baju tersebut suci dan tidak terkena darah. Apabila terkena darah haid, maka dia harus membersihkan bagian yang terkena najis tersebut.

Namun demikian, hendaklah wanita muslimah mengenakan pakaian khusus pada saat sedang haid.

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha dia menceritakan :

"Artinya : Ketika aku sedang berbaring (tidur-tiduran) bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas kain (hitam persegi empat), karena aku sedang haid, maka aku keluar dan mengambil pakaian haidku, lalu beliau bertanya, 'Apakah kamu sedang menjalani nifas ?' "Ya" jawabku. Kemudian beliau memanggilku, lalu aku tidur bersama beliau di lantai yang rendah". [Hadits Riwayat Muttafaqun 'alaih]

Dalam hadits tersebut terdapat dua hal(3).

Pertama : Pemberitahuan kepada suami saat haid tanpa harus melalui ucapan, sehingga tidak meminta untuk berhubungan badan(4).

Kedua : Jiwa suami merasa jijik pada baju yang terkena najis terutama darah haid. Oleh karena itu, hindarilah untuk mengenakannya, sehingga pengkhususan baju haid akan menyelamatkan wanita dari masalah ini.

Disalin dari buku Tsalatsuna Rukhshatan Syar'iyyan Li Al-Nisa, edisi Indonesia 30 Keringanan Bagi Wanita, oleh Amr bin Abdul Mun'im Salim, terbitan Pustaka Azzam - Jakarta, hal 31-33, penerjemah M.Abdul Ghoffar EM

Footnote:
1. Maksudnya adalah jangan menyetubuhi mereka pada saat sedang haid.
2. Yaitu sesudah mandi. Ada pula yang menafsirkan sesudah terhenti darah yang keluar.
3. Lihat buku ini yang berjudul Al-Adaab Al-Syar'iyah Li Al-Nisaa Fii Fatrati Al-Haidh.
4. Seringkali seorang wanita merasa malu memberitahukan masa haidnya kepada suaminya. Oleh karena itu, dengan mengenakan pakaian khusus itu selama masa haid merupakan pemberitahuan, sehingga sang suami tidak memintanya untuk berhubungan badan.


Created at 12 Februari 2002 | Annisaa

Untuk pertanyaan, saran dan kritikan yang berkaitan dengan homepage ini, silakan hubungi kami
Tested under IE 5.x, Opera 5.x, Mozilla 0.9.x and Netscape 4.7x

ASSUNNAH ML ON-LINE
Tegak dan Ittiba' Di Atas Manhaj Salaf

| Halaman Utama | Berita | Artikel | Info | Galeri | Ragam | Search |

| Masalah Penting | Tauhid | Info Kitab | Masalah Hati | Annisaa |

Halaman Utama > Artikel > Annisaa > Hal-hal Diluar Kebiasaan Haid

Hal-hal Diluar Kebiasaan Haid

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin


Ada beberapa hal yang terjadi di luar kebiasaan haid :

1. Bertambah atau berkurangnya masa haid

Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari, tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari. Atau sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.

2. Maju atau mundur waktu datangnya haid

Misalnya, seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan lalu tiba-tiba pada awal bulan. Atau biasanya haid pada awal bulan lalu tiba-tiba haid pada akhir bulan.

Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di atas. Namun, pendapat yang benar bahwa seorang wanita jika mendapatkan darah (haid) maka dia berada dalam keadaan haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia dalam keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya. Dan telah disebutkan pada saat terdahulu dalil yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah mengaitkan hukum-hukum haid dengan keberadaan haid.

Pendapat tersebut merupakan madzhab Imam Asy-Syafi'i dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pengarang kitab Al-Mughni pun ikut menguatkan pendapat ini dan membelanya, katanya : "Andaikata adat kebiasaan menjadi dasar pertimbangan menurut yang disebutkan dalam madzhab, niscaya dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena tidak mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat dibutuhkan. Istri-istri beliau dan kaum wanita lainnyapun membutuhkan penjelasan itu pada setiap saat, maka beliau tidak akan mengabaikan hal itu. Namun, ternyata tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang berkenaan dengan wanita yang istihadhah saja". (Al-Mughni, Juz 1, hal. 353)

3. Darah berwarna kuning atau keruh

Yakni seorang wanita mendapatkan darahnya berwarna kuning seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman.

Jika hal ini terjadi pada saat haid atau bersambung dengan haid sebelum suci, maka itu adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Namun, jika terjadi sesudah masa suci, maka itu bukan darah haid. Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh Ummu Athiyah Radhiyallahu 'anha.

"Artinya : Kami tidak menganggap apa-apa darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah masa suci".

Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari tanpa kalimat "sesudah masa suci", tetapi beliau sebutkan dalam "Bab Darah Warna Kuning Atau Keruh Di Luar Masa Haid". Dan dalam Fathul Baari dijelaskan : "Itu merupakan isyarat Al-Bukhari untuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, "sebelum kamu melihat lendir putih" dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab ini, bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita mendapatkan darah berwarna kuning atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka menurut apa yang disampaikan Ummu Athiyah".

Hadits Aisyah yang dimaksud yakni hadits yang disebutkan oleh Al-Bukhari pada bab sebelumnya bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepadanya sehelai kain berisi kapas (yang digunakan wanita untuk mengetahui apakah masih ada sisa noda haid) yang masih terdapat padanya darah berwarna kuning. Maka Aisyah berkata : "Janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat lendir putih", maksudnya cairan putih yang keluar dari rahim pada saat habis masa haid.

4. Darah haid keluar secara terputus-putus

Yakni sehari keluar darah dan sehari lagi tidak keluar. Dalam hal ini terdapat 2 kondisi :

  1. Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu adalah darah istihadhah, dan berlaku baginya hukum istihadhah.
  2. Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadangkala saja datang dan dia mempunyai saat suci yang tepat. Maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kondisi ketika tidak keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa suci atau termasuk dalam hukum haid ?

Madzhab Imam Asy-Syafi'i, menurut salah satu pendapatnya yang paling shahih, bahwa hal ini masih termasuk dalam hukum haid. Pendapat ini pun menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengarang kitab Al-Faiq (disebutkan dalam kitab Al-Inshaaf), juga merupakan madzhab Imam Abu Hanifah. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak didapatkan lendir putih; kalaupun dijadikan sebagai keadaan suci berarti yang sebelumnya adalah haid dan yang sesudahnya pun haid, dan tidak ada seorangpun yang menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya masa iddah dengan perhitungan quru' (haid atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja. Begitupula jika dijadikan sebagai keadaan suci, niscaya akan merepotkan dan menyulitkan karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari; padahal tidaklah syari'at itu menyulitkan. Walhamdulillah.

Adapun yang masyhur menurut madzhab pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, jika darah keluar berarti haid dan jika berhenti berarti suci; kecuali apabila jumlah masanya melampaui jumlah maksimal masa haid, maka darah yang melampaui itu adalah istihadhah.

Dikatakan dalam kitab Al-Mughni : "Jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari tak perlu diperhatikan. Dan inilah yang shahih, Insya Allah. Sebab, dalam keadaan keluarnya darah yang terputus-putus (sekali keluar sekali tidak) bila diwajibkan mandi bagi wanita pada setiap saat berhenti keluarnya darah tentu hal itu menyulitkan, padahal Allah Ta'ala berfirman :

"Artinya : ... Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan ...". (Al-Hajj : 78)

Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari bukan merupakan keadaan suci kecuali jika si wanita mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa ia suci. Misalnya, berhentinya darah tersebut pada akhir masa kebiasaannya atau ia melihat lendir putih". (Al-Mughni, Juz 1, hal. 355)

Dengan demikian, apa yang disampaikan pengarang kitab Al-Mughni merupakan pendapat moderat antara dua pendapat di atas. Dan Allah Maha Mengetahui yang benar.

5. Terjadi pengeringan darah

Yakni, si wanita tidak mendapatkan selain merasa lembab atau basah (pada kemaluannya).

Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah masa suci, maka tidak termasuk haid. Sebab, keadaan seperti ini paling tidak dihukumi sama dengan keadaan darah berwarna kuning atau keruh.

Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin Nisaa'. Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-'Utsaimin, edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita hal. 21-25. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan. Darul Haq Jakarta


Created at 25 April 2002 | Annisaa

Untuk pertanyaan, saran dan kritikan yang berkaitan dengan homepage ini, silakan hubungi kami
Tested under IE 5.x, Opera 5.x, Mozilla 0.9.x and Netscape 4.7x