Wednesday, May 30, 2007

Pesta Perpisahan

Pesta Perpisahan: antara syukur dan hura-hura





Beberapa tahun terakhir ini, ada tren baru pesta perpisahan di kota-kota besar. Pesta perpisahan model lama (yang digelar di aula sekolah dan berlangsung sederhana dan santai) kini mulai ditinggalkan.
Sebagai gantinya, digelar pesta perpisahan ala Amerika: prom nite atau pesta prom. Tidak ada lagi pesta ala kadarnya di aula atau halaman sekolah. Kini, pesta prom (berasal dari kata promenade yang berarti gerak dasar dalam tarian) "harus" digelar di ballroom hotel mewah di tengah kota, dan ada aturan berpakaian atau dress code yang harus dipatuhi pesertanya.
Citra Barat
Demikian juga yang terjadi di Jakarta seusai musim ujian nasional tahun ini. Meski hasil ujian tersebut masih kontroversial sampai sekarang, tidak menyurutkan keinginan anak-anak SMA untuk menggelar prom nite. Tempat penyelenggaraannya pun tidak kalah dengan pesta-pesta kalangan atas kota ini.
Ada pesta perpisahan yang dilangsungkan di ballroom, sebuah hotel prestisius; seperti yang dilakukan oleh siswa –siswi di Jakarta.
Tempat yang mewah menuntut penampilan yang sesuai. Maka dress code bernuansa Barat pun menjadi keharusan. Di semua prom tersebut, hampir semua hadirin wanita mengenakan gaun malam model terbaru dan hadirin prianya memakai setelan jas.
Tiap sekolah menampilkan tema prom yang berbeda-beda, dan semuanya bernuansa Barat. Mulai dari aturan berpakaian dan rangkaian acaranya kemudian ditampilkan sesuai tema ini.
Pesta perpisahan merupakan perayaan kehidupan kota metropolitan yang penuh gemerlap. Maka dipasanglah perangkat cahaya laser dan grup band reggae yang rancak. Para hadirin berdandan bag model dengan lagu-lagu Barat yang mengalun sebagai latarnya.
Acara-acara "standar" pesta perpisahan pun digelar satu demi satu. Mulai dari penampilan berbagai band di panggung, dansa-dansi, hingga pemilihan Raja dan Ratu Prom di akhir acara. Band yang tampil mulai dari band sekolah hingga band profesional yang sudah terkenal.
Utang bila perlu

Melihat acara-acara yang digelar, terbayang biaya yang harus dikeluarkan. menghabiskan dana biaya sewa tempat, katering, dekorasi, hingga sewa MC dan band bintang tamu
Uang mereka kumpulkan dengan menarik iuran dari para siswa yang hadir.
Iuran ditarik dari sebelum acara; dan kadang ada yang dibayarkan pada hari H. Namun setiap siswa diwajibkan membayar Ada keringanan untuk yang tidak mampu Jadi ada sistem subsidi silang dari yang mampu membayar lebih
Untuk meringankan beban, panitia menerapkan sistem cicilan. Biaya per orang dicicil sejak bulan-bulan lalu. Bahakn untuk menambah dana, kadang ada anggota panitia yang dikenai iuran setiap kali rapat
Dana iuran siswa tersebut masih ditambah dana dari donatur yang biasanya orangtua para siswa sendiri. Bahkan, ada yang mendapat sponsor dari perusahaan, seperti disponsori produk sampo dan pasar swalayan terkemuka. Biasanya ada orang tua siswa yang menjadi pejabat di perusahaan-perusahaan itu
Meski sudah mengerahkan segala sumber dana yang ada, uang yang terkumpul kadang masih kurang. hingga pesta usai, seluruh dana yang dibutuhkan belum terkumpul. Akhirnya ada sebagian siswa yang pinjam uang pada orangtua ; tetapi kami harus mengembalikan.
Itu baru dana penyelenggaraan pesta. Mereka juga harus merogoh kocek lagi untuk mempersiapkan penampilan sebaik mungkin. Mengatur persiapan acaranya, menyiapkan penampilan pribadinya; menjadi sebuah kesibukan yang menyita banyak waktu mereka. Sejak jauh hari, mereka telah membeli bahan untuk dijahit menjadi gaun malam. Mereka juga harus mencari sepatu, tas, menata rambut, dan memoles riasan di wajahnya. Memang mereka mengeluarkan dana bnayak untuk persiapannya itu.
Kreativitas lainnya ditunjukkan dengan penampilan yang heboh dalam berdandan. Meskipun banyak yang pinjam; seperti jas, rok maupun sepatu, mereka merasa senang saja melakukannya.
Kenangan terakhir
Untuk apa segala jerih payah dan biaya yang dikeluarkan? Ada siswa yang berpendapat pesta perpisahan yang mewah adalah sebuah kebanggaan. Sementara yang lain mengatakan kalau pesta merupakan simbol gengsi dan penanda gaya hidup para ABG;sama seperti merek baju dan jam tangan yang mereka kenakan, atau merek HP yang mereka kantungi dan bawa ke sekolah. Namun di balik gengsi itu, ada alasan lain yang mereka ungkapkan. Ada yang berkomentar kalau ini adalah momen terakhir untuk berkumpul dengan teman-teman. Pesta bagi mereka adalah acara sekali seumur hidup yang akan dikenang sampai tua; jadi harus spesial dan kalau perlu mewah.
Nyatanya, tidak semua remaja sebaya mereka sepakat dengan alasan itu. Bahkan, teman-teman satu sekolah mereka sendiri banyak yang tidak setuju dengan ide untuk menggelar prom. Itu sebabnya, tidak seluruh siswa kelas 3 hadir. Ada yang sejak awal tidak berniat ikut pesta karena bagi dia, acara semacam itu hanya membuang-buang uang yang tidak perlu. Bahkan ada yang berkomentar begini "Acaranya sendiri sih oke-oke saja, tetapi konsepnya itu-itu saja. Buat perpisahan aja kok mesti di gedung pertemuan; di sekolah kan bisa? Kalau tempatnya harus di gedung pertemuan, pesta perpisahan akhirnya hanya jadi acara keren-kerenan saja”
Jika tujuan pesta itu adalah untuk merayakan kebersamaan, maka tujuan itu pada akhirnya tidak tercapai, karena tidak semua siswa mampu membayar iuran. Akhirnya tidak semua bisa hadir. Sehingga ada siswa yang memilih piknik bersama keluar kota sebagai bentuk acara perpisahan yang lebih baik.
Rasa Indonesia
Ada juga sekolah menengah yang menggelar pesta perpisahan yang sederhana, seperti SMK 1 Batang yang melangsungkan acaranya di aula Gedung KORPRI hari Sabtu (26/5) lalu. Di sana, para siswa-siswinya tetap memakai pakaian OSIS; sementara para guru dan staf Tu memakai kemeja Batik
Bagaimanapun juga, acara pesta yang sudah dirancang itu tetap tidak meninggalkan rasa Indonesia. Pesta yang memang menuntut ikhtilat antar lawan jenis; lelaki dan perempuan kadang interaksi antara siswa dan siswi di panggung masih canggung. Para ABG itu terlihat masih terlalu malu-malu untuk tampil all out dengan lawan jenisnya.
Kesan mewah hanya pada tempat acara dan pakaian yang dikenakan pesertanya. Selain dekorasi yang sangat sederhana, musik yang dimainkan pun tidak bisa disebut mewah.
Grup kesenian sekolah itu tampil di pesta dengan menampilkan kesenian wayang orang yang kemudain diperheboh dengan acara karaoke dari para siswa-siswi, guru, dan staf Tu yang membawakan lagu-lagu dangdut atau pop; yang langsung disambut para hadirin dengan applaus atau mungkin goyangan kaki atau gelengan kepala mengikuti alunan lagu.
Antara Syukur dan hura-hura
Bila kita mengamati setiap pesta perpisahan di atas baik yang bernuansa Indonesia apalagi Barat, pesta perpisahan tidak lepas dari suasana hura-hura daripada ungkapan rasa syukur. Mengapa begitu? Kita bisa lihat setiap acarannya; musik, menari, ihktilat laki perempuan dalam nuansa jauh dari nilai-nilai agama; terlepas dari besarnya dana yang dikeluarkan. Kita pun bisa merasakan apakah acara itu membawa mereka kepada esensi ungkapan rasa syukur yang sebenarnya atau hanya sekedar luapan syahwat akan hal-hal yang sesuai selera mereka. Meskipun begitu, memang tidak semuanya larut dalam suasana hura-hura tersebut; ada yang mereka hadir karena keterpaksaan pada sistem; yang tentunya jauh dari nilai kekhusyukan dan hakikat syukur yang sebenarnya. Idza jaaanashrullohi wal fath....apa yang dilakukan oleh Nabi dan sahabat manakala mereka mendapatkan kemenangan? Marilah kita renungi kembali surat AN Nashr.




Disadur oleh Agus Bagyo dengan pemahaman Generasi Salaf (Kaum Muhajirin dan Anshar) ; sebaik-baik generasi dalam sejarah