Wednesday, April 25, 2007

Karkuzari

Jema'ah Tabligh di Mata Anggota
Wisnu Jatmiko
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komputer UI
Saya terlibat dalam aktivitas JT sekitar tujuh tahun lalu (1991). Waktu itu, saya masih duduk di kelas dua SMA (tahun 1991). Kemudian melanjutkan pada Jurusan Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia, lulus 1997). Sempat bekerja di PT Phillips hampir setahun. Kemudian melanjutkan kuliah pada Program Pasca Sarjana Ilmu Komputer UI sampai sekarang.
Awal-awalnya saya sering diajak para aktivifis JT yang sering berkunjung di masjid dekat rumah. Mereka mengajak khuruj, tapi karena saya masih sekolah, maka hanya bisa mengikuti satu hari saja.
Ada dua hal yang menyebabkan saya tertarik pada JT. Pertama, materi-materi yang disampaikan dalam taklim-taklim itu memberikan dorongan yang cukup kuat bagi saya untuk rajin beribadah. Itulah yang menyebabkan saya tertarik. Kedua, saya juga mendapat dorongan dan motivasi yang kuat untuk sukses dalam studi. Ceritanya begini, saya terlibat lebih jauh setelah banyak teman-teman yang pindah rumah (1994). Akibatnya saya harus menjadi penggeraknya. Bahkan saya sempat khuruj 40 hari lamanya.
Tapi, saya juga sempat bertanya-tanya. Kenapa aktivitasnya hanya begini-begini saja. Toh, tanpa terlibat saya juga bisa jadi orang baik. Apalagi ketika itu ada yang marah, karena saya menolak untuk ikut khuruj. Kebetulan saya ada udzur. Hingga akhirnya saya bertemu dengan orang dari India dan Amerika yang menyebabkan saya semangat lagi. Karena menurut mereka, aktivitas di JT tak perlu berakibat kewajiban lain tertinggal. Buktinya banyak di antara pengikut JT yang doktor dan profesor serta hapal Al Qur'an. Saya sempat ditegur mereka karena aktivitas di JT menyebabkan Indeks Prestasi (IP) saya rendah. Waktu itu saya ingat sedang ujian mata kuliah "Sistem Kendali." Bahkan mereka berkali-kali menyuruh saya pulang untuk belajar.
Yang saya peroleh setelah aktif di JT, pada diri saya seakan muncul kembali semangat untuk mewarnai keluarga yang semula agak pudar dalam beragama. Saya menghidupkan taklim dan musyawarah harian di rumah. Yang laki-laki sholat di masjid, sedang yang wanita memakai jilbab rapat. Bahkan kini kakak saya juga ikut aktif bersama saya.
Suatu ketika saya dipilih menjadi pimpinan rombongan khuruj, yang terdiri dari pelajar SMA dan bapak-bapak yang kurang dari segi pendidikan. Saya sempat bingung ketika itu. Apalagi pimpinan rombongan harus mengurus perijinan ke lurah, camat, sospol, kadang-kadang ke Kodim. Pokoknya seluruh aparat Muspida. Saya sering dimarah-marahi, dibentak oleh aparat itu. Tapi, bagi saya itu sudah merupakan konsekuensi pimpinan rombongan. Sehingga, pengalaman itu membuat saya bertambah semangat dan tak takut berpaling dari Allah swt.
Ada pengalaman menarik lagi, sewaktu ikut khuruj di Bengkulu, saya merasa tertekan. Ketika itu saya tak mendapatkan masjid. Muspida di sana sempat menaruh curiga dan tanya melulu mengenai acara rombongan saya. Ke mana pun pergi seperti ada yang mengawasi. Itulah titik yang paling berkesan.
Kenapa harus khuruj? Untuk melatih mental dan banyak lagi yang sulit diceritakan. Pengalaman pribadi yang membuat jiwa kita terbina. Soal dana, itu dari tabungan kita sendiri. Keluarga yang ditinggalkan? Sebelum melakukan khuruj, pembinaan keluarga penting, terutama ibu-ibu dan wanita diadakan taklim ibu-ibu atau namanya masturot. Artinya: tertutup, terhijab. Dalam pembinaan itu, wanita atau ibu-ibu dilatih mandiri. Sehingga ketika ditinggal khuruj, mereka sudah bisa berperan sebagai kepala rumah tangga di rumah. Tapi, belakangan JT juga sudah mulai memprogram khuruj bersama-sama semuhrim, lelaki dan perempuan.