Wednesday, April 25, 2007

Soal wa Masaail

Bekerja di Bank

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Semoga Allah mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.



Yang perlu dipahami bahwa pada hakikatnya tidak semua pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankan tergolong riba. Ada diantaranya yang halal dan baik, seperti kegiatan perpialangan, penitipan, dan sebagainya. bahkan sedikit pekerjaan di sana yang termasuk haram.

Apa yang kami sebutkan ini ternyata juga disetujui oleh Dr. Yusuf Al-Qaradawi dalam fiqih kontemporernya dalam masalah hukum bekerja di bank konvensional. Bahkan beliau mengatakan dengan pertimbangan bahwa tidak semua bentuk transaksi pada bank konvensional itu haram, maka tidak mengapalah seorang muslim menerima pekerjaan tersebut --meskipun hatinya tidak rela-- dengan harapan tata perekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi yang diridhai agama.

Memang benar bahwa riba itu haram dan ulama telah sepakat bahwa bunga bank adalah riba yang diharamkan. Ayat dan hadits tentang itu sudah cukup banyak dan kita sepakat dengan itu semua. Namun yang perlu kita sadari juga adalah bahwa bank konvensional itu telah sedemikian menjamur di negeri Islam, sehingga sekedar memfatwakan keharaman bekerja pada bank itu, belum tentu bisa mengikis keberadaan bank itu.

Dalam kondisi demikian, yang kita butuhkan adalah sebuah proses. Dalam hal ini Islam tidak melarang umatnya untuk melakukan perubahan secara bertahap dalam memecahkan setiap permasalahan yang pelik. Cara ini pernah ditempuh Islam ketika mulai mengharamkan khamar, dan lainnya. Dalam hal ini yang terpenting adalah tekad dan kemauan bersama, apabila tekad itu telah bulat maka jalan pun akan terbuka lebar.

Setiap muslim yang mempunyai kepedulian akan hal ini hendaklah bekerja dengan hatinya, lisannya, dan segenap kemampuannya melalui berbagai wasilah (sarana) yang tepat untuk mengembangkan sistem perekonomian kita sendiri, sehingga sesuai dengan ajaran Islam.

Di sisi lain, Islam melarang seseorang melupakan kebutuhan hidup yang oleh para fuqaha diistilahkan telah mencapai tingkatan darurat. Kondisi inilah yang mengharuskan seseorang untuk menerima pekerjaan tersebut sebagai sarana mencari penghidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah SWT:

"... Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al Baqarah: 173}

Bila sekian ratus ribu kaum muslimin yang sekarang bekerja di bank konvensional tiba-tiba berhenti dan kehilangan ma’isyahnya, siapakah yang akan menghidupi keluarga mereka ? Sedangkan kalangan pengusaha muslim belum bisa memberikan alternatif pekerjaan lain dengan jumlah yang memadai untuk menampung semua karyawan tadi. Lalu akakah kita akan membiarkan sekian juta muslimin kelaparan tanpa ada alternatif jelas untuk mengatasinya ?

Ada juga faktor strategis lainnya yang perlu dipertimbangkan. Yaitu bila kita melarang semua muslim bekerja di bank, maka dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai oleh orang-orang nonmuslim seperti Yahudi dan sebagainya. Pada akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka.

Jalan keluar terbaik memang dengan mendirikan bank Islam atau bank syariah. Namun secara logika angka, daya serap lowongan pekerjaan pada bank-bank itu belum sebanding dengan pekerja di bank konvensional yang ada. Sehingga bila kita fatwakan keharaman mutlak untuk bekerja pada bank konvensional, kita masih belum bisa memberikan alternatif jalan keluar yang real untuk mereka menyambung hidup.

Karena itu kalau kita ingin mengatakan bahwa bekerja di bank konvensional itu haram, maka perlu dilihat terlebih dahulu tentang alternatif pekerjaan seseorang. Bila di depan matanya ada lowongan pekerjaan lain yang halal dan pasti, maka wajiblah baginya untuk berhenti dari bank konvensional. Tapi bila setelah berhenti, keluarganya malah terlantar, tentu ini adalah madharat. Begitu juga dengan ikut menyukseskan bank konvensional adalah madharat. Dalam konteks ada dua madharat yang sama sekali tidak bisa dihindarkan, maka kita diminta untuk memilih yang madharatnya lebih kecil.

Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu alaikum wr.wb.

Pemberian kepada PNS

Pertanyaan:

apakah boleh kita sebagai aparatur /pns menerima pemberian rekanan / CV/toko karena kita memakai jasa / membeli barang kepada mereka ? (tidak diminta)
Jika tidak boleh, apakah pemberiannya bisa digunakan untuk kepentingan umum / masyarakat ?

fatih

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

Dalam kondisi apapun pada dasarnya setiap muslim harus tetap istiqamah dan memegang sikap wara’ (hati-hati) dari segala yang syubhat dan haram demi melaksanakan pesan Allah SWT. dan berharap akan janji-Nya. Dan Nabi SAW bersabda:

Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang syubhat dimana sebagian besar manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa menjaga dari yang syubhat maka telah menjaga agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang jatuh pada yang syubhat maka telah jatuh pada yang haram” (HR Bukhari dan Muslim)

Hal itu perlu dilakukan agar kita tidak beresiko mendapat laknat karena dekat-dekat dari perbuatan yang diharamkan Allah SWT. Karena dalam urusan suap ini, Rasulullah SAW memang agak keras dalam mengancamnya dengan laknat. Beliau bersabda
Allah melaknat penyuap, yang disuap dan perantara keduanya” (HR At-Tabrani)

Pada dasarnya, setiap perolehan apa saja di luar gaji dan dana resmi/legal yang terkait dengan jabatan/pekerjaan merupakan harta ghulul (perolehan yang bukan haknya) dan hukumnya tidak halal. Meskipun hal itu atas nama "hadiah" dan "tanda terimakasih" akan tetapi dalam konteks dan perspektif syari’at bukan merupakan hadiah tetapi dikategorikan sebagai risywah (suap) atau syibhu risywah (semi suap) atau risywah masturoh (suap terselubung), risywah musytabihah (suap yang tidak jelas) ataupun ghulul.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Al-Karim :

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al Baqarah 188)

Disebutkan dalam hadits bahwa Ibnu Al Lutbiyah seorang petugas zakat yang berasal dari suku Asdi ketika ia tiba di Madinah seusai menjalankan tugasnya mengatakan:
Ini adalah (hasil pungutan zakat) untuk kalian (Baitul Mal) dan yang ini adalah untukku yang telah dihadiahkan (para wajib zakat) kepadaku.” Nabi seketika berdiri dan berkhotbah dengan membaca hamdalah lalu mengatakan: “Amma Ba’du. Saya telah mempekerjakan seseorang dari kamu pada sebuah tugas yang Allah amanatkan kepadaku, lalu ia mengatakan; ini untuk kamu dan yang ini adalah hadiah yang dihadiahkan untukku. Mengapa ia tidak duduk-duduk saja (tidak menjadi petugas) di rumah bapak dan ibunya sehingga datang kepadanya hadiahnya, jika memang ia benar?! Demi Allah, tidaklah seorang dari kamu mengambil sesuatupun selain haknya, kecuali ia akan menghadap Allah dengan memanggulnya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud. Lihat; Al Mundziri dalam At Targhib Wa At Tarhib, I/277 dan Al Qardhawi dalam Fiqh Az Zakat, II/592)

Namun bila hadiah itu bersifat tidak mengikat dan juga nilainya tidak besar yang secara `urf yang dikenal masyarakat tidak akan mempengaruhi penilaian atau ketidaksesuaian dengan prosedur yang berlaku, maka tidak menjadi bagian dari risywah atau sogok. Misalnya ballpoint dan beragam accessoris lainnya yang merupakan merchandise secara umum. Tapi meski tidak mahal namun bila ikut memperngaruhi anda untuk melakukan sesuatu di luar prosedur yang berlaku, bisa saja dijadikan bagian dari sogokan.



Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh