Friday, May 18, 2007

Fiqih Islam


Cobaan muslimah dalam memegang aqidah

Sumber:fay


"Sebaik-baik pakaian wanita adalah bila keluar dia akan berada dalam kondisi seperti di rumahnya (tidak terlihat oleh lelaki yang bukan mahramnya"


Kajian Fikih: Ajaran Khitan dalam Islam

Khitan secara bahasa artinya memotong. Secara terminologis artinya
memotong kulit yang menutupi alat kelamin lelaki (penis). Dalam
bahasa Arab khitan juga digunakan sebagai nama lain alat kelamin
lelaki dan perempuan seperti dalam hadist yang mengatakan "Apabila
terjadi pertemuan dua khitan, maka telah wajib mandi" (H.R. Muslim,
Tirmidzi dll.).

Dalam agama Islam, khitan merupakan salah satu media pensucian diri
dan bukti ketundukan kita kepada ajaran agama. Dalam hadist
Rasulullah s.a.w. bersabda:"Kesucian (fitrah) itu ada lima: khitan,
mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis dan
memotong kuku" (H.R. Bukhari Muslim).

Faedah khitan: Seperti yang diungkapkan para ahli kedokteran bahwa
khitan mempunyai faedah bagi kesehatan karena membuang anggota tubuh
yang yang menjadi tempat persembunyian kotoran, virus, najis dan bau
yang tidak sedap. Air kencing mengandung semua unsur tersebut. Ketika
keluar melewati kulit yang menutupi alat kelamin, maka endapan
kotoran sebagian tertahan oleh kulit tersebut. Semakin lama endapan
tersebut semakin banyak. Bisa dibayangkan berapa lama seseorang
melakukan kencing dalam sehari dan berapa banyak endapan yang
disimpan oleh kulit penutup kelamin dalam setahun. Oleh karenanya
beberapa penelitian medis membuktikan bahwa penderita penyakit
kelamin lebih banyak dari kelangan yang tidak dikhitan. Begitu juga
penderita penyakit berbahaya aids, kanker alat kelamin dan bahkan
kanker rahim juga lebih banyak diderita oleh pasangan yang tidak
dikhitan. Ini juga yang menjadi salah satu alasan non muslim di Eropa
dan AS melakukan khitan.

Hukum Khitan

Dalam fikih Islam, hukum khitan dibedakan antara untuk lelaki dan
perempuan. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum khitan baik
untuk lelaki maupun perempuan.

Hukum khitan untuk lelaki:

Menurut jumhur (mayoritas ulama), hukum khitan bagi lelaki adalah
wajib. Para pendukung pendapat ini adalah imam Syafi'i, Ahmad, dan
sebagian pengikut imam Malik. Imam Hanafi mengatakan khitan wajib
tetapi tidak fardlu.

Menurut riwayat populer dari imam Malik beliau mengatakan khitan
hukumnya sunnah. Begitu juga riwayat dari imam Hanafi dan Hasan al-
Basri mengatakan sunnah. Namun bagi imam Malik, sunnah kalau
ditinggalkan berdosa, karena menurut madzhab Maliki sunnah adalah
antara fadlu dan nadb. Ibnu abi Musa dari ulama Hanbali juga
mengatakan sunnah muakkadah.

Ibnu Qudamah dalam kitabnya Mughni mengatakan bahwa khitan bagi
lelaki hukumnya wajib dan kemuliaan bagi perempuan, andaikan seorang
lelaki dewasa masuk Islam dan takut khitan maka tidak wajib baginya,
sama dengan kewajiban wudlu dan mandi bisa gugur kalau ditakutkan
membahayakan jiwa, maka khitan pun demikian.

Dalil yang Yang dijadikan landasan bahwa khitan tidak wajib.

1. Salman al-Farisi ketika masuk Islam tidak disuruh khitan;
2. Hadist di atas menyebutkan khitan dalan rentetan amalan sunnah
seperti mencukur buku ketiak dan memndekkan kuku, maka secara logis
khitan juga sunnah.

3. Hadist Ayaddad bib Aus, Rasulullah s.a.w bersabda:"Khitan itu
sunnah bagi lelaki dan diutamakan bagi perempuan. Namun kata sunnah
dalam hadist sering diungkapkan untuk tradisi dan kebiasaan
Rasulullah baik yang wajib maupun bukan dan khitan di sini termasuk
yang wajib.

Adapun dalil-dalil yang dijadikan landasan para ulama yang mengatakan
khitab wajib adalah sbb.:

1. Dari Abu Hurairah Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa nabi Ibrahim
melaksanakan khitan ketika berumur 80 tahun, beliau khitan dengan
menggunakan kapak. (H.R. Bukhari). Nabi Ibrahim melaksanakannya
ketika diperintahkan untuk khitan padahal beliau sudah berumur 80
tahun. Ini menunjukkan betapa kuatnya perintah khitan.

2. Kulit yang di depan alat kelamin terkena najis ketika kencing,
kalau tidak dikhitan maka sama dengan orang yang menyentuh najis di
badannya sehingga sholatnya tidak sah. Sholat adalah ibadah wajib,
segala sesuatu yang menjadi prasyarat sholat hukumnya wajib.

3. Hadist riwayat Abu Dawud dan Ahmad, Rasulullah s.a.w. berkata
kepada Kulaib: "Buanglah rambut kekafiran dan berkhitanlah". Perintah
Rasulullah s.a.w. menunjukkan kewajiban.

4. Diperbolehkan membuka aurat pada saat khitan, padahal membuka
aurat sesuatu yang dilarang. Ini menujukkan bahwa khitab wajib,
karena tidak diperbolehkan sesuatu yang dilarang kecuali untuk
sesuatu yang sangat kuat hukumnya.

5. Memotong anggota tubuh yang tidak bisa tumbuh kembali dan disertai
rasa sakit tidak mungkin kecuali karena perkara wajib, seperti hukum
potong tangan bagi pencuri.

6. Khitan merupakan tradisi mat Islam sejak zaman Rasulullah s.a.w.
sampai zaman sekarang dan tidak ada yang meninggalkannya, maka tidak
ada alasan yang mengatakan itu tidak wajib.

Khitan untuk perempuan

Hukum khitan bagi perempuan telah menjadi perbincangan para ulama.
Sebagian mengatakan itu sunnah dan sebagian mengatakan itu suatu
keutamaan saja dan tidak ada yang mengatakan wajib.

Perbedaan pendapat para ulama seputar hukum khitan bagi perempuan
tersebut disebabkan riwayat hadist seputar khitan perempuan yang
masih dipermasalahkan kekuatannya.

Tidak ada hadist sahih yang menjelaskan hukum khitan perempuan. Ibnu
Mundzir mengatakan bahwa tidak ada hadist yang bisa dijadikan rujukan
dalam masalah khitan perempuan dan tidak ada sunnah yang bisa
dijadikan landasan. Semua hadist yang meriwayatkan khitan perempuan
mempunyai sanad dlaif atau lemah.

Hadist paling populer tentang khitan perempuan adalah hadist
Ummi 'Atiyah r.a., Rasulllah bersabda kepadanya:"Wahai Umi Atiyah,
berkhitanlah dan jangan berlebihan, sesungguhnya khitan lebih baik
bagi perempuan dan lebih menyenangkan bagi suaminya". Hadist ini
diriwayatkan oleh Baihaqi, Hakim dari Dhahhak bin Qais. Abu Dawud
juga meriwayatkan hadist serupa namun semua riwayatnya dlaif dan
tidak ada yang kuat. Abu Dawud sendiri konon meriwayatkan hadist ini
untuk menunjukkan kedlaifannya. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Hajar
dalam kitab Talkhisul Khabir.

Mengingat tidak ada hadist yang kuat tentang khitan perempuan ini,
Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa sebagian ulama Syafi'iyah dan riwayat
dari imam Ahmad mengatakan bahwa tidak ada anjuran khitan bagi
perempuan.

Sebagian ulama mengatakan bahwa perempuan Timur (kawasan semenanjung
Arab) dianjurkan khitan, sedangkan perempuan Barat dari kawasan
Afrika tidak diwajibkan khitan karena tidak mempunyai kulit yang
perlu dipotong yang sering mengganggu atau menyebabkan kekurang
nyamanan perempuan itu sendiri.

Apa yang dipotong dari perempuan

Imam Mawardi mengatakan bahwa khitan pada perempuan yang dipotong
adalah kulit yang berada di atas vagina perempuan yang berbentuk
mirip cengger ayam. Yang dianjurkan adalah memotong sebagian kulit
tersebut bukan menghilangkannya secara keseluruhan. Imam Nawawi juga
menjelaskan hal yang sama bahwa khitan pada perempuan adalah memotong
bagian bawah kulit lebih yang ada di atas vagina perempuan.

Namun pada penerapannya banyak kesalahan dilakukan oleh umat Islam
dalam melaksanakan khitan perempuan, yaitu dengan berlebih-lebihan
dalam memotong bagian alat vital perempuan. Seperti yang dikutib Dr.
Muhammad bin Lutfi Al-Sabbag dalam bukunya tentang khitan bahwa
kesalahan fatal dalam melaksanakan khitan perempuan banyak terjadi di
masyarakat muslim Sudan dan Indonesia. Kesalahan tersebut berupa
pemotongan tidak hanya kulit bagian atas alat vital perempuan, tapi
juga memotong hingga semua daging yang menonjol pada alat vital
perempuan, termasuk clitoris sehingga yang tersisa hanya saluran air
kencing dan saluran rahim. Khitan model ini di masyarakat Arab
dikenal dengan sebutan "Khitan Fir'aun".

Beberapa kajian medis membuktikan bahwa khitan seperti ini bisa
menimbulkan dampak negatif bagi perempuan baik secara kesehatan
maupun psikologis, seperti menyebabkan perempuan tidak stabil dan
mengurangi gairah seksualnya. Bahkan sebagian ahli medis menyatakan
bahwa khitan model ini juga bisa menyebabkan berbagai pernyakit
kelamin pada perempuan.

Seandainya hadist tentang khitan perempuan di atas sahih, maka di
situ pun Rasulullah s.a.w. melarang berlebih-lebihan dalam menghitan
anak perempuan. Larangan dari Rasulullah s.a.w. secara hukum bisa
mengindikasikan keharaman tindakan tersebut. Apalagi bila terbukti
bahwa berlebihan atau kesalahan dalam melaksanakan khitan perempuan
bisa menimbulkan dampak negatif, maka bisa dipastikan keharaman
tindakan tersebut.

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas beberapa kalangan ulama
kontemporer menyatakan bahwa apabila tidak bisa terjamin pelaksanaan
khitan perempuan secara benar, terutama bila itu dilakukan terhadap
anak perempuan yang masih bayi, yang pada umumnya sulit untuk bisa
melaksanakan khitan perempuan dengan tidak berlebihan, maka sebaiknya
tidak melakukan khitan perempuan. Toh tidak ada hadist sahih yang
melandasinya.

Waktu khitan

Waktu wajib khitan adalah pada saat balig, karena pada saat itulah
wajib melaksanakan sholat. Tanpa khitan, sholat tidak sempurna sebab
suci yang yang merupakan syarat sah sholat tidak bisa terpenuhi.
Adapun waktu sunnah adalah sebelum balig. Sedangkan waktu ikhtiar
(pilihan yang baik untuk dilaksanakan) adalah hari ketujuh seytelah
lahir, atau 40 hari setelah kelahiran, atau juga dianjurkan pada umur
7 tahun. Qadli Husain mengatakan sebaiknya melakuan khitan pada umur
10 tahun karena pada saat itu anak mulai diperintahkan sholat. Ibnu
Mundzir mengatakan bahwa khitan pada umut 7 hari hukumnya makruh
karena itu tradisi Yahudi, namun ada riwayat bahwa Rasulullah s.a.w.
menghitan Hasan dan Husain, cucu beliau pada umur 7 hari, begitu juga
konon nabi Ibrahim mengkhitan putera beliau Ishaq pada umur 7 hari.

Walimah Khitan

Walimah artinya perayaan. Ibnu Hajar menukil pendapat Imam Nawawi dan
Qadli Iyad bahwa walimah dalam tradisi Arab ada delapan jenis,
yaitu : 1) Walimatul Urush untuk pernikahan; 2) Walimatul I'dzar
untuk merayakan khitan; 3) Aqiqah untuk merayakan kelahiran anak; 4).
Walimah Khurs untuk merayakan keselamatan perempuan dari talak, konon
juga digunakan untuk sebutan makanan yang diberikan saat kelahiran
bayi; 5) Walimah Naqi'ah untuk merayakan kadatangan seseorang dari
bepergian jauh, tapi yang menyediakan orang yang bepergian. Kalau
yang menyediakan orang yang di rumah disebut walimah tuhfah; 6)
Walimah Wakiirah untuk merayakan rumah baru; 7) Walimah Wadlimah
untuk merayakan keselamatan dari bencana; dan 8) Walimah Ma'dabah
yaitu perayaan yang dilakukan tanpa sebab sekedar untuk menjamu sanak
saudara dan handai taulan.

Imam Ahmad meriwayatkan hadist dari Utsman bin Abi Ash bahwa walimah
khitan termasuk yang tidak dianjurkan. Namun demikian imam Nawawi
menegaskan bahwa walimah khitan boleh dilaksanakan dan hukumnya
sunnah memenuhi undangan seperti undangan lainnya.

Disusun oleh Ustadz Muhammad Niam
dari berbagai sumber.

Kajian Fikih: Disunnahkan melihat calon isteri sebelum khitbah


Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir bin Abdullah
r.a. beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:"Ketika
salah satu dari kalian melakukan khitbah terhadap seorang perempuan,
kemudian memungkinkan baginya untuk melihat apa yang menjadi alasan
baginya untuk menikahinya, maka lakukanlah". Hadist ini sahih dan
mempunyai riwayat lain yang menguatkannya.

Ulama empat madzhab dan mayoritas ulama menyatakan bahwa Seorang lelaki
yang berkhitbah kepada seorang perempuan disunnahkan untuk melihatnya atau
menemuinya sebelum melakukan khitbah secara resmi. Rasulullah telah
mengizinkan itu dan menyarankannya dan tidak disyaratkan untuk meminta
izin kepada perempuan yang bersangkutan. Landasan untuk itu adalah hadist
sahih riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a. berkata: Aku pernah bersama
Rasulullah r.a. lalu datanglah seorang lelaki, menceritakan bahwa ia
menikahi seorang perempuan dari kaum anshar, lalu Rasulullah menanyakan
"Sudahkan anda melihatnya?" lelaki itu menjawab "Belum". "Pergilah dan
lihatlah dia" kata Rasulullah "Karena pada mata kaum anshar (terkadang )
ada sesuatunya".

Para Ulama sepakat bahwa melihat perempuan dengan tujuan khitbah tidak
harus mendapatkan izin perempuan tersebut, bahkan diperbolehkan tanpa
sepengetahuan perempuan yang bersangkutan. Bahkan diperboleh
berulang-ulang untuk meyakinkan diri sebelum melangkah berkhitbah. Ini
karena Rasulullah s.a.w. dalam hadist di atas memberikan izin secara
mutlak dan tidak memberikan batasan. selain itu, perempuan juga kebanyakan
malu kalau diberitahu bahwa dirinya akan dikhitbah oleh seseorang. Begitu
juga kalau diberitahu terkadang bisa menyebabkan kekecewaan di pihak
perempuan, misalnya pihak lelaki telah melihat perempuan yang bersangkutan
dan memebritahunya akan niat menikahinya, namun karena satu dan lain hal
pihak lelaki membatalkan, padahal pihak perempuan sudah mengharapkan.

Maka para ulama mengatakan, sebaiknya melihat calon isteri dilakukan
sebelum khitbah resmi, sehingga kalau ada pembatalan tidak ada yang merasa
dirugikan. Lain halnya membatalkan setelah khitbah kadang menimbulkan
sesuatu yang tidak diinginkan.

Persyaratan diperbolehkan melihat adalah dengan tanpa khalwat (berduaan
saja) dan tanpa bersentuhan karena itu tidak diperlukan. Bagi perempuan
juga diperbolehkan melihat lelaki yang mengkhitbahinya sebelum memutuskan
menerima atau menolak

Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan diperbolehkan lelaki melihat
perempuan yang ditaksir sebelum khitbah. Sebagian besar ulama mengatakan
boleh melihat wajah dan telapak tangan. Sebagian ulama mengatakan boleh
melihat kepala, yaitu rambut, leher dan betis. Dalil pendapat ini adalah
hadist di atas, bahwa Rasulullah telah mengizinkan melihat perempuan
sebelum khitbah, artinya ada keringanan di sana. Kalau hanya wajah dan
telapak tangan tentu tidak perlu mendapatkan keringanan dari Rasulullah
karena aslinya diperbolehkan. Yang wajar dari melihat perempuan adalah
batas aurat keluarga, yaitu kepala, leher dan betis. Dari Umar bin Khattab
ketika berkhitbah kepada Umi Kultsum binti Ali bin Abi Thalib melakukan
demikian.

Dawud Dhahiri punya pendapat nyentrik, bahwa boleh melihat semua anggota
badan perempuan kecuali alat kelaminnya, bahkan tanpa baju sekalipun.
Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Aqil dari Imam Ahmad. Tentu saja
pendapat ini mendapat tentangan para ulama. Imam AUza'I mengatakan boleh
melihat anggota badan tempat-tempat daging.

Bagi perempuan yang akan menerima khitbah disunnahkan untuk menghias
dirinya agar kelihatan cantik. Imam Ahmad berkata:"Ketika seorang lelaki
berkhitbah kepada seorang perempuan, maka hendaklah ia bertanya tentang
kecantikannya dulu, kalau dipuji baru tanyakan tentang agamanya, sehingga
kalau ia membatalkan karena alasan agama. Kalau ia menanyakan agamanya
dulu, lalu kecantikannya maka ketika ia membatalkan adalah karena
kecantikannya dan bukan agamanya. (Ini kurang bijak).